
Oleh : Sayed Abubakar Asseggaff
DALAM riuh rendah panggung politik lokal, terkadang sejarah mempermainkan takdir. Ia meletakkan mahkota di kepala yang tak siap, dan menunda tahta bagi mereka yang sepenuh jiwa mencintai rakyatnya. Inilah kisah dua wajah kepemimpinan di bumi Lancang Kuning: antara Agung Nugroho di Kota Pekanbaru, dan Abdul Wahid di Provinsi Riau. Dua nama, dua jabatan, namun dengan arah dan rasa yang bertolak belakang. Bagaikan sebuah kisah tentang pemimpin yang tertukar.
Agung Nugroho: Bekerja dalam Diam, Berdampak Nyata
Agung Nugroho hadir bukan sekadar sebagai pejabat administratif, tetapi sebagai pelayan rakyat sejati. Ia tidak memilih jalan gemerlap pencitraan, melainkan menapaki lorong-lorong sempit tempat masalah rakyat bersembunyi. Dari persoalan banjir, kemacetan, hingga pelayanan publik yang lamban. Dia tidak bersembunyi di balik meja kerja, melainkan terjun langsung, membuka dialog, menyusun strategi, dan melobi kementerian agar Pekanbaru tidak sekadar menjadi ibukota administratif, tetapi pusat harapan masyarakat.
Langkahnya konkret: mendorong digitalisasi layanan, mengajak DPRD bersinergi, membuka ruang diskusi lintas sektor. Ia hadir bukan hanya saat kamera menyala, tapi juga ketika jeritan rakyat bergema. Ketika badai defisit melanda, ia tidak mencari alasan, tetapi menata solusi.
Jika Jawa Barat punya Dedi Mulyadi dikenal karena empati, keberanian, dan gaya kepemimpinan yang membumi maka Riau memiliki Agung Nugroho, yang menjadikan keluhan rakyat sebagai kompas kebijakan.
Abdul Wahid: Ketika Kepemimpinan Menjadi Panggung
Sebaliknya, Gubernur Riau Abdul Wahid tampak melangkah di jalur yang berbeda. Dalam bayang-bayang defisit anggaran Rp3,5 triliun, masyarakat menunggu ketegasan, langkah strategis, dan keberanian memimpin. Namun yang tampak justru parade gambar, unggahan video seremonial, dan potret bersama pejabat pusat.
Ia tampak lebih sibuk mengatur pencahayaan panggung birokrasi ketimbang memperbaiki pondasi pelayanan publik. Masalah ekonomi stagnan, birokrasi tak bergerak, serba bingung dan ketakutan, ketimpangan pembangunan terus menganga. Di tengah semua itu, Gubernur Wahid lebih sering terlihat mematut-matut jas dan dasi, bukan menyingsingkan lengan baju.
Rakyat yang butuh pemimpin, justru disuguhkan selebritas dadakan dalam dunia birokrasi. Simbol menggantikan substansi, dan citra lebih penting dari kinerja.
Sibuk Mengeluh, Bukan Mencari Jalan
Sejak awal masa jabatannya, Abdul Wahid lebih sering terdengar mengeluh: pusing, lelah, bingung. Ia menjadikan beratnya tugas sebagai dalih untuk stagnan. Ia menyebut warisan masalah, tetapi tak pernah sungguh-sungguh menciptakan babak baru.
Padahal kepemimpinan bukan tentang siapa yang salah, tetapi tentang apa yang bisa diperbaiki hari ini. Rakyat tidak menuntut kesempurnaan, hanya kehadiran nyata dan keberanian melangkah.
Filsuf Timur berkata: “Orang kuat bukan yang tak pernah lelah, tapi yang tetap melangkah meski hatinya penuh luka.” Namun Wahid menjadikan luka sebagai alasan berhenti. Ia berputar-putar dalam labirin retorika, tanpa peta keluar.
Ia bukan mata air solusi, melainkan menjadi bagian dari genangan masalah. Kepemimpinannya bagaikan daun kering yang ikut melayang dalam angin birokrasi bergerak, tapi tanpa kendali.
Antara yang Ada dan yang Hadir
Kepemimpinan sejati tidak diukur dari seberapa banyak kamera mengabadikanmu, tetapi dari berapa banyak rakyat yang merasa kehadiranmu berarti. Agung Nugroho menunjukkan hal itu: diam tapi berdampak, sederhana namun menyelesaikan.
Sementara itu, Abdul Wahid tampak seperti bayang-bayang besar yang kosong. Jejaknya tertinggal hanya dalam bentuk dokumentasi, bukan dalam perbaikan kebijakan.
Riau Butuh yang Membumi, Bukan yang Mengambang
Riau tak butuh pemimpin yang hanya mampu mengelola narasi. Riau butuh pemimpin yang berani kotor tangan, siap menghadapi kenyataan, dan tak segan menabrak zona nyaman demi kepentingan rakyat.
Hari ini, kita sedang menyaksikan pertukaran takdir dalam kepemimpinan: ketika yang siap memimpin justru bekerja di pinggiran, sementara yang duduk di tampuk kekuasaan tampak tak siap, bahkan terkesan enggan.
Namun sejarah masih terbuka. Dan dalam demokrasi, penyesalan selalu bisa ditebus. Asalkan rakyat tahu, dan memilih: mana pemimpin yang sekadar berfoto, dan mana yang berjalan di tengah rakyat dengan sepatu yang berlumpur.
Karena kelak, akan datang hari ketika suara rakyat lebih nyaring dari tepuk tangan panggung.
Ketika pemimpin tak lagi dipilih karena pamflet dan kamera,
Tetapi karena jejaknya terasa di dada rakyat yang lama menahan sesak.***